Setuju gak sih, kalo selera cita rasa makanan setiap individu itu berbeda!? Banget kan pasti. Nah itu juga alasan gue menulis postingan yang satu ini. Perbedaan selera yang berbeda ini sih umumnya terjadi karena faktor keturunan, lingkungan, dan terutama uang jajan.
Tapi untungnya gue ya sebagai seorang yang berwajah mapan dan tampan meskipun dengan modal pas-pasan dan otak yang kadang-kadang gak jalan, gak terlalu menyusahkan dalam memilah dan memilih makanan, ada sih satu-dua-tiga-empat-lima makanan yang menurut orang biasa itu enak, tapi gue menganggapnya sebagai malapetaka.
Warteg,.. Siapa sih yang gak kenal dengan surganya mereka yang mencari makanan murah dan cita rasa yang hampir setara bintang lima. Di sini juga si pembeli bener-bener di kasih kebebasan yang seluas-luasnya, gimana nggak, menu udah di gletakin gitu aje, tinggal tunjuk, semacam touchscreen tiga dimensi gitu deh.
Dari segi tempat emang sih, Warteg ini kurang mendunia, karena bukan bertahtakan sofa dan beralaskan marmer ataupun granit, tapi cuma bangku kayu panjang yang di bawahnya membentang luas keramik yang retak, kadang kalo lagi hujan, kita bisa melihat foot-sign dari pengunjung yang beruntung.
Gue kasih tau juga ya, biar kalian gak salah milih warteg nantinya buat tempat nongkrong, selalu ingat pesan gue..."Harga dan Rasa dari sebuah Warteg, berbanding lurus dengan tingkat keramaian parkiran motor di depannya", jadi gak usah repot-repot masuk ke dalem, cukup liatin aja rame apa nggak parkiran motornya.
Lah, kenapa harus motor yang rame!? Kalo mobil yang ramenya, gimana!? Ada indikasi bahwa warteg itu enak, tapi soal harga, kan beda ya pengendara mobil dengan pengendara motor, dari segi bahan bakar aja beda, nah apalagi pengertian "murah" diantara keduanya.
Tapi yang gue heran ya, kenapa kita gak bisa menemukan warteg yang sesuai dengan perasaan dan pengeluaran di tempat-tempat elit!? Padahal kan itu anti-mainstream.
Udah gitu juga, coba bayangin kalo setiap lu jalan sama gebetan, entah abis nonton, ataupun cuma ngelilingin mall selama tiga hari, pas udahannya langsung ke warteg, selain hemat, kandungan protein nabati yang terkandung dalam neuron dan proton... Oke ini ngaco, tapi yang pasti itu bisa menghemat pengeluaran.
Tuntutan globalisasi emang parah banget ya, mall yang berdiri di tempat yang dulunya para pedagang kecil mencari sesuap paket bbm dan secercah sertifikat rumah, dan di gadang-gadang bakalan membuka lahan pekerjaan, justru malah mematikan satu-satunya kesempatan mereka.
Gue emang kuliah di jurusan arsitek, yang notabene ada aja kelak kemungkinan gue harus melakukan hal yang selama ini gue komentarin, tapi salah satu dosen gue mengatakan, "kami para dosen disini hanya memberikan kalian tentang kaedahnya kelak kalau kalian menjadi arsitek, tapi ya nanti kalo kalian udah lulus itu sih terserah kalian".
Gue paham satu hal dari sini, sebenernya menjadi seorang arsitek itu sama kaya mencari gebetan yang punya kenalan sama temen, kita di kasih hampir semua informasi tentang si doi, in the end, kita sendiri yang memilih mau jadian apa nggak.
Oh iya, kembali ke warteg (maksudnya ke topik ya!). Dengan makan di warteg juga, kita udah termasuk peduli sama budaya bangsa loh. Heran ya, fast-food yang di luar negeri dianggep makanan yang kurang sehat, keberadaannya di Indonesia malah di favoritin, termasuk gue juga penggemar berat mereka.
Kenapa bisa disebut peduli hanya dengan makan di warteg!? Iyalah, itu semua menu makanan asli nusantara, udah gitu juga pelayannya asli nusantara, nah tinggal kita aja yang mau mengakuinya apa nggak, jangan sampe warteg udah diakuin oleh negara lain baru deh kita ngotot. Gue ngepost gini karena gue pengen kalo warteg ini dijadikan salah satu budaya Indonesia yang patut dijaga kelestariannya, bukan cuma makannya, tapi juga tempatnya, dan terpenting! Harganya!!!
Minggu, 27 Oktober 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar