Nilai Kok DIsalahin!

"Udin! Ini nilai ujian kamu kok turun, lebih rendah dari semester kemarin?!", tanya nyokapnya Udin yang kayaknya lagi emosi gara-gara gak dapet beras gratisan di kelurahan.

"Mama, mama, tenang dulu, dengar penjelasan Udin", jawab Udin santai, belakangan diketahui Udin dapet dua karung beras dari kelurahan lainnya (Apa ini???)

"...", <-- Nyokapnya Udin.

"...", <-- Udin.

"YAUDAAAH JELASIN!!!", 

"Oh, Udin kira mama sudah mengerti... Jadi begini Ma, semester kemarin Udin merasa Nilai Udin itu tidak berimbang, ada yang enam, delapan, empat, lima, lima koma enam ratus tujuh puluh tiga...",

"Lalu???",

"Nah, di semester ini, Udin belajar tentang keseimbangan antara SQ, IQ, dan QQ.. Jadi Udin pukul ratakan semua nilai semester ini diangka tiga.. Karena secara filosofis, tiga itu mengandu...",

*PYAAAAR!!!*


Belum selesai Udin menjelaskan, piring nasi uduk Mbok Darsinah yang dipinjamnya tadi pagi sebagai wadah sarapan pun terbelah dua, korban lainnya dari amarah nyokapnya Udin.


Mungkin kalian pernah mengalami keterpurukan nilai seperti yang dialami si Udin. Bukan, maksud gue bukan keidiotan Udin yang mau gue samakan, tetapi ada masanya mungkin dari tujuh semester atau yaaa anggaplah tujuh belas semester, pasti ada satu semester dimana kita mengalami yang namanya kejenuhan dalam kuliah. Itu sih yang gue alamin, gue salut sama kalian yang terus konsisten menjaga prestasi nilainya semester demi semester, mungkin kalian perlu ngeshare di comment box buat tipsnya! :)


Gini, titik jenuh itu selalu ada, sama kayak tempat tinggal kita sekarang, yang diprediksikan oleh para ilmuwan, kalau suatu saat akan mengalami titik jenuh dan hancur. Dan gue juga menerapkan logika yang sama buat diibaratkan ke otak manusia. Semakin banyak beban yang menerpa, akan semakin mudah pula kegalauan tiba. (Apa sih lo?) Nah ini, yang gak paham konsep sains. Gue biarpun gak paham tetep berusaha sok tau, seenggaknya biar agak keliatan pinter gitu diawalnya, tapi ya akhirnya tetep aja idiot.

Udah ah, capek ngomongin sains, otak gue udah ngebul baru dipake ngomongin tata surya selama tujuh detik doang, kalo dilanjutin, bisa buat nyeduh mi instan. Gimana kalo kita ngomongin sistem pendidikan?! Gak melenceng jauh lah sama nilai.

Pendidikan, dari perspektif mahasiswa (tidak)berprestasi kayak gue, kayaknya ada semacam ketidaksinkronan antara melatih kemampuan dengan mengejar kebutuhan. Sistem pendidikan kita yang mengharuskan para pelajarnya untuk mencapai sebuah urutan angka yang disebut SNI, Standar Nilai Indonesia (Ngaco Lo!), kayaknya agak merubah orientasi kita sebagai pelajar deh. Yang harusnya mengedepankan pemahaman selama pelajaran, berubah jadi kejar-kejaran kebutuhan demi pengakuan. 

Contohnya, mari kita ibaratkan dalam sebuah mitos kuno, karena terlalu kuno, gue lupa. Kita ganti aja ke ceritanya si Udin...

Dahulu kala, di sebuah desa yang entah dimana keberadaannya dan sepertinya memang tidak ada yang mau tau juga letak pastinya. Hiduplah dua orang ingusan, cadel, ompong, dan bulu ketek menjuntai ke dua dunia, Udin dan Idun. Mereka bukan anak kembar, bukan juga anak emas, bahkan, mereka bukan anak manusia. 

Udin sama Idun temen sekelas sejak masih jadi sperma, Udin yang memiliki IQ diatas rata-rata, 12,35. Iya, diatas rata-rata bangsa hewan melata. Sedangkan temannya Idun, yang agak sedikit oon, jangankan ngerjain soal cerita matematika, buat cerita tentang money politic yang menghasilkan monkey politician di Indonesia aja gak bisa (Ya Iyalah. Susah Nyet!). Hal ini menjadikan Idun selalu bergantung kepada Udin setiap menjelang ujian kenaikan kelas. Pak Junet, guru besar di SD Udin dan Idun (Baca : Guru gendut), selalu memberi nilai yang sama kepada Udin dan Idun, karena jawaban mereka selalu sama. Karena kejadian itu, kini Udin membuka usaha tebar paku bumi di jalan, sedangkan Idun, membuka usaha tebar paku jalan di bumi (Apa ini?). 

Closingnya gak penting, tapi disini yang mau gue tekankan, kasian si Udin, dia yang lebih paham, dan mungkin karena sifat tidak teganya kepada Idun, dia harus mendapatkan hal yang seharusnya tidak layak untuk diberikan. Kalian boleh nge-judge, "salah Udin sendiri, kenapa mau nyontekin si Idun!", Bisa, tapi ya itu semua karena ujian tertulis sifatnya masih bisa "dicontek". 

Harusnya sih, kalo emang mau bener-bener tau kemampuan siswa secara individu, ya di tesnya juga individu. Presentasi, tanya jawab secara langsung, atau mungkin segala macam tes yang soalnya diberikan saat itu juga, semacam interogasi gitu deh. Emang sih dari segi waktu gak efisien, lama, kalo satu sekolah siswanya ada seribu lebih, mungkin tesnya baru selesai setelah Bang Toyib pulang. Tapi efektif banget buat nyadarin ke siswa betapa pentingnya kemandirian. Mereka juga secara tidak langsung diajarkan rasa tanggung jawab, sekaligus menekan sifat goyah jati diri yang kebanyakan para remaja sedang mengalami, termasuk gue.

Last but not least, Pendidikan, Sistem pendidikan, Mata Pelajaran, Mata Kuliah, Mata Kaki, atau jenis mata apapun, gak seharusnya kita menyalahkan sesuatu yang emang kita (manusia) ciptakan. (mereka benda mati, bro!) Gue juga gak berniat buat menyindir siapapun, cuma tamparan buat diri sendiri aja, kalo generasi muda harus selalu belajar dari pendahulunya, "Karena kesempurnaan akan sirna seiring dengan pergerakan zaman semesta"... Yuk! Kita dukung terus pendidikan di Indonesia, siapa bilang pendidikan kita isinya cuma pencabulan, kebocoran kunci jawaban, dan bokepan, banyak kok temen-temen kita yang udah terbang kesana-kemari dari dalam keluar negeri karena kemampuan dan kecerdasannya yang notabene dia dapetin dari belajar di Indonesia! :)

"I Proud To Be An Indonesian Teena..",

"Mas, mas, sampeyan ndelok piringku?!",

"Lah!!!"